Dalam sebuah buku yang berjudul percik-percik Keteladanan Kiai Hamid. Di dalam buku tersebut berisikan beberapa materi akan tetapi disini penulis hanya menyomot bagian Membina Keluarga Sakinah. Buku tersebut menampilkan sebuah kalimat ilustrasi seorang suami yang duduk diatas kursi, sementara istrinya jongkok Dibawahnya memasangkan sepatu sang suami yang hendak berangkat bekerja. Ilustrasi tersebut berisikan kritik kepada seorang suami yang manja. Di pihak lain, kaum feminisme sangat getol menyoroti perilaku suami yang semena mena kepada istrinya.
Akan tetapi di buku ini dituangkan dalam alur cerita, dimana Kiai Hamid menikahi gadi yang baru berumur belasan tahun. Dimana umur belasan tahun itu sangat rentan terjadinya konflik akan ego yang membumbung tinggi. Tetapi berbeda dengan Kiai Hamid, disaat istrinya berumur belasan tahun beliau malah memposisikan diri sebagai seorang bapak yang penuh pengertian, yang dengan telaten mendidik istrinya yang jauh lebih muda dari beliau. Dengan penuh kesabaran beliau menjaga keharmonisan hubungan rumah tangganya dengan cara mengalah, dan dengan cinta selalu berusaha menyenangkan hati istrinya, terutama di kala gundah gulana. Istri beliau bernama Nafis ah Binti Achmad Qusyairi.
Dari pernikahan tersebut beliau dikaruniai 2 anak akan tetapi keduanya telah meningal dunia. Saat kepergian kedua anaknya Bu Nyai Nafisah sangat terpukul, disaat itulah kedewasaan Kiai Hamid mulai di munculkan kembali. Dimana sifat itu ditujukan dengan sikap ngemong. Alih-alih Bu Nyai Nafisah larut dalam kesedihan, larut dalam iba diri, beliau menghibur istrinya dengan cara bepergian jauh (ngelencer), ke Semarang, Solo, Jember, Banyuwangi dan tempat lainya. Dengan tujuan untuk menghibur akan bekas luka yang sulit tuk disembuhkan atas meningalnya kedua anaknya. Dalam urusan rumah tangga Kiai Hamid sangat memperhatikan kepentingan pasanganya. Dimana yang menjadi Concern bukan bagaimana menjadikan istri sebagai wahana kesenangan diri sendiri, seperti halnya suami yang egois, tapi bagaimana membuat pasangan senang. Idkhalus surur, istilahnya.
Dalam keharmonisan rumah tangga. Kiai Hamid tak pernah mengenal dengan istilah meneng-menengah (marahan), apa lagi berbuat eksploitasi dan bahkan tak ada kata gengsi-gengsian dalam mengarungi bahtera rumah tangganya. Yang terjadi justru sebaliknya, Kiai Hamid malah banyak mengalah jika terjadi ketidak cocokan pendapat. Disaat Bu Nyai Nafisah marah beliau lebih memilih diam. Mungkin kalau beliau menjawab, suasana rumah jadi ramai dan masalah semakin keruh dan tak kunjung lerai. Contohnya saat Bu Nyai Nafisah uring-uringan karena Kiai Hamid tak kunjung menengok bangunan pondok putri yang sedang dalam renovasi. Bu Nyai Nfisah kondo '' Kalau mbangun sendiri itu ya ditengok''. Kalau Desa ada pembangunan saja selalu ditengok kata Bu Nyai Nfisah dengan jengkel. Saat Kiai Hamid menuruti permintaan istrinya masalah pun selesai tanpa ada pertikaian hujan darah.
Dalam cerita di atas kita bisa mengambil sebuah hikmah dimana dalam berumahtangga harus bisa menciptakan Visi dan Misi dalam mengedepankan Ukuawah Islamiyah dalam bingkaian keluarga SAKINAH, MAWADAH, WAROHMAH. Jadi kunci dari sebuah hubungan adalah komunikasi yang baik dan pengertian akan kekurangan satu dengan lainya. Jaganlah meninggikan ego masing-masing tapi rendah dirilah pada diri mu sendiri dan mengertilah akan apa dan siapa yang berperan dalam diri mu itu, nafsu baik ataukah buruk.
Demikian yang bisa penulis utarakan jika ada salah kata mohon untuk dijadikan koreksi. sebagai bahan masukan dalam merangkai kalimat yang baik dan benar.
#Ponpespnggungtulungagung1Februari2020
Comments
Post a Comment