MENCEGAH GOLPUT DAN
MENINGKATKAN PARTISIPASI PEMILIH
Oleh : Ahmad Saifudin
Dalam rangka melakukan sosialisasi dan pendidikan pemilih untuk meningkatkan pertisipasi masyarakat dalam pemilihan bupati dan wakil bupati tranggalek tahun 2020, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Tranggalek akan mengadakan kegitan pesta demokrasi. Dimana pesta demokrasi pada masa yang sulit seperti ini susah untuk melakukan aktifitas yang bersifat kelompok, karena massa pandemik covid-19 yang menghindari kerumunan. Sampai sekarang pandemi covid-19 ini beritanya masih mengudara. Sehingga memunculkan keresahan publik. Apalagi ada suatu daerah yang akan melaksanakan pergantian kepemimipinan daerah, bagaimana menyikapi masa pandemi covid-19 ? apakah pilkada daerah dapat diselengarakan dengan aman, selamat dan berkualitas ?pilkada tidak hanya sekedar menyalurkan partisipasi kepada calon pemimpin daerah saja, tetapi juga harus menghasilkan pemilihan yang demokrasi guna untuk melahirkan keadilan masyarakat dalam memilih pemimpin yang tepat dan berkualitas sesuai asas dalam pancasila dan UUD 19945. Tapi bagaimana jika konsep kurang sesuai dengan realita yang ada saat ini.
KPU memang sudah merancang program sedemikian rupa walapun masa pandemi covid-19 ini adalah masa sulit, akan tetapi bagi penyelenggara pemilu harus terus bekerja untuk menyelesaikan tahapan demi tahapan. Salah satu tahapan yang paling krusial dan harus segera mendapatkan penanganan khusus adalah pemutahiran dan pencocokan data pemilih, karena tahapan ini menjadi kepastian bagi warga Negara Indonesia yang telah memenuhi syarat dalam hal menggunakan hak pilihnya. Jika mengacu pada pemutahiran dan pencocokan data pemilih pada kontestasi pemilihan baik pilkada maupun pemilihan umum, KPU akan melakukan pemutakhiran dan pencocokan data pemilih melaluli PPDP selaku kepanjangan tangan KPU ditingkat bawah dangan cara dor to dor pada setiap pemilih. Dalam kondisi pandemi covid 19 ini, KPU harus melakukan tahapan pemutkhiran dan dan pencocokan data pemilih dengan memperhatikan protokol kesehatan. Hal ini harus dilakukan guna menjamin keselamatan bagi pemilih dan PPDP selaku ujung tombak KPU dalam pemutakhiran dan pencocokan data pemilih. Tahapan ini harus tetap dilaksanakan sesuai regulasi yang ada dan mempedomani protokol kesehatan. Ini semata-mata dilakukan guna melindungi hak pilih dan meminimalisir tingkat golput dalam pilkada di Kabupaten Trenggalek.
Dalam masa pandemik covid -19 ini tugas KPU Kabupaten Trenggalek harus lebih inten untuk menangani pemilu serta harus memperhatikan protokol kesehatan. Memang tidak sedikit banyak masyarakat yang beranggapan bahwa pemilihan Bupati dimasa pandemik covid-19 ini terlalu sulit, karena di satu sisi KPU dituntut untuk segera melaksanakan tugasnya untuk pemilihan Bupati, dimana masa pemerintahan bupati saat ini sudah memcapai masa yang telah ditentukan pada saat pemilihan Bupati Kabupaten Trenggalek sebelumnya dan sekarang tibalah untuk pesta demokrasi dan di sisi lainnya KPU dituntut untuk mentaati protokol kesehatan selama masa pandemik covid-19 ini yang belum berakhir. Dengan adanya keharusan mengikuti protokol kesehatan dalam skema pelaksanaan pemilihan, maka, KPU mau tidak mau harus menyediakan Anggaran protocol kesehatan guna untuk memastikan semua tahapan dami tahapan di setiap program dapat tercapai sesuai ketentuan yang telah ditetapkan.
Memang pemilihan tahun ini ada sejumlah kekhawatiran publik terhadap penyelenggaraan pemilihan bupati di tahun ini. Karena kondisi yang memilukan ini telah menimpa negara Indonesia dimana segala aktifitas berkerumunan di masa pandemic covid-19 tidak di perkenankan, sehingga dalam pelaksanaan tahapan program pemilihan kurang begitu kondusif sehingga memunculkan imeg yang kurang baik. Sehingga mengakibatkan standar pekerjaan menjadi menurun. Kendala seperti ini muncul ketika sikap pesimis muncul disaat petugas akan melakukan tahapan pemutakhiran dan pencocokan data pemilih. Belum lagi masalah lain yang akan dihadapi ketika melaksankan tahapan berikutnya. Oleh karena profesionalitas KPU dituntut lebih inten dalam menghadapi masalah yang ada saat dilapangan guna untuk mendapatkan kepercayaan dari masyarakat yang majemuk pada panitia penyelengara pemilihan Bupati Kabupaten Trenggalek.
Kondisi inilah yang di khawatirkan sampai saat ini, ketika penyelenggara telah muncul rasa pesimis dimasa pandemik covid-19 ini, maka akan mengabaikan tugasnya dalam pelaksanaan akan aturan yang telah ada. Adapun dampak negatif dari hal tersebut adalah dilematis bagi penyelanggara. Sehingga akan menimbulkan dampak pada kualitas pemilihan bupati yang akan berlansung. Kondisi ini begitu dilematis bagi penyelengara. Karena pengalaman buruk telah kita jumpai saat di tahun 2019, dimana pemilu serentak saat itu telah merengut nyawa petugas KPPS yang meninggal di saat pelaksanaan pemilu serentak. Mengaca dari kejadian itulah KPU bisa mengambil hikmah, bagaimana beratnya tugas yang di emban KPU dimasa pandemik covid-19. Bukan bermaksud untuk menyepelekan wabah covid-19 ini, namun kita perlu waspada. Pemilu serentak saja dalam keadaan normal sudah tinggi tekanan yang dihadapi oleh penyelenggara. Apalagi pemilihan kepala daerah yang akan dilaksanakan di Kabupaten Trenggalek, yang pelaksanaannya saja di bawah risiko terinfeksi covid-19. Kalau hal ini tidak mendapat perhatian serius, maka TPS yang didatangi oleh masyarakat sebagai pemilih akan menjadi kluster baru penularan covid-19.
Kondisi ini memang bisa diantisipasi oleh KPU sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah di wilayah Kabupaten Trenggalek. Bagaimana tidak keadaan pandemi covid-19 ini jika semakin memburuk dan berkepanjangan sampai pemilihan kepala daerah akan berlangsung belum juga mereda ?...., apakah KPU mempunyai rencana cadangan untuk menghadapi masalah yang melanda negri Indonesia ini, terutama di wilayah Kabupaten Trenggalek? misalnya saja menunda kembali pemilihan di daerah itu atau membatalkan secara keseluruhan pelaksanaan pemilihan atau tetap dilaksanakan dengan protokol kesehatan dengan risiko terinfeksi covid-19, kemungkinan besarnya tertular jika tetap melaksanakan pemilihan, terutama pada hari pemilihan dengan potensi orang yang berkumpul sangat banyak. Kekhawatiran inilah yang membuat mereka lebih memilih untuk tidak datang ke TPS pada hari pencoblosan, jika tidak ada jaminan keselamatan terhadap diri mereka. Kehadiran pemilih ini juga berkorelasi dengan masalah ekonomi masyarakat yang terdampak akibat pandemi covid-19 ini. Jikalaupun ada rencana cadangan untuk pemilihan, penulis kurang begitu tau karena sampai saat ini, KPU belum menjelaskan rencana cadangan apa yang akan di lakukan di masa pandemi ini.
Untuk menurunkan beratnya tekanan terhadap penyelenggara pemilihan kepala daerah agar berjalan aman, sehat dan berkualitas, tentu semua pihak harus berperan aktif mendukung dan membantu pelaksanaan pengawalan mulai awal kegiatan sampai akhir kegiatan tersebut. Persoalannya sekarang adalah bagaimana pihak-pihak tersebut mengambil peran untuk menyukseskan pemilihan kepala daerah dalam kondisi masa pandemik covid-19 ini. Jangan, kita jangan bikin pemilihan bupati tahun 2020 ini menjadi kapling-kapling partai politik yang tak bertanggungjawab, dan sekaligus tempat aliran calon bupati yang kurang amanah. Peneteapan bupati kabupaten Trenggalek di bawah pemerintahan demokrasi. Jadi rakyat bebas memilih Mission type oriented, artinya rakyat membutuhkan ledership macam apa. Biyarkan rakyat memilih dengan suara hatinya dan bukan suara uang yang berbicara. Sebagai bakal calon pemimpin Kabupaten Tranggalek haruslah memiliki sikap optimis. Tanpa rasa optimis seorang bakal calon akan tersaingi oleh bakal calon lainnya. Pembangunan Kabupaten Tranggalek ini sudah cukup bagus. Tapi kedepannya harus lebih baik dari sebelumnya. Menjadikan daerah unggul membutuhkan waktu yang lama dalam berproses. Memang Kabupaten Tranggalek terdiri dari pegunungan dan lautan, itulah yang harus bisa di unggulkan dari adanya pemilihan bupati tahun 2020 ini.
Kalao mereka diberi kesempatan untuk melakukan hal terbaik dalam meningkatkan roda perekonomian Kabupaten Tranggalek insya’allah rakyat mau mendukung dan sebaliknya bila pemimpin memiliki rasa culas yang ada hanyalah kebobrokan semata. Maka dalam pemilihan ini janganlah tidak memilih, karena hak suara masyarakat sangatlah dinanti demi mengangkat kepala daerah yang adil dan bijaksana. Apakah target tersebut akan tercapai? Jawabannya akan terlihat seusai pemilu nanti. Yang pasti, saat ini wacana "golput" cukup gencar disuarakan. Pro-kontra memang terjadi di antara para pendukung dan penentang. Banyak sekali faktor yang menjadikan tingkat partisipasi mengalami fluktuaktif, antara lain jenuh dengan frekuensi penyelenggaraan pemilu yang tinggi, ketidakpuasan atas kinerja sistem politik yang tidak memberikan perbaikan kualitas hidup, kesalahan administratif penyelenggaraan pemilu, adanya paham keagamaan anti demokrasi, dan melemahnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya pemilu sebagai instrumen transformasi sosial. Alasan lain sekarang ini karena banyaknya kasus yang membelit partai, minimnya figur potensial yang dimiliki partai politik serta turunnya citra partai.
KPU mentargetkan pemilihan kepala daerah ini diharapkan akan meningkat sebesar 75 persen paling tidak, dibanding pada pilkada sebelumnya. Rasa optimis dalam mengusung pemilihan ini untuk kelancaran serta meningkatkan penguatan partisipasi pemilih (masyarakat). Karena kesuksesan dalam hal partisipas pemilih juga merupakan hal yang utama dalam kesuksesan pesta demokrasi tersebut. Untuk menghindari pemilih yang kurang maksimal (golput), KPU sebaiknya membangun komunikasi dengan publik, yaitu dengan sosialisasi dan menampilkan citra positif dengan kampanye kreatif sehingga menimbulkan minat rakyat untuk berpartisipasi dalam pemilu.
Seseorang berperilaku golput bisa dilihat dari aspek teknis karena ada kendala teknis yang dialami pemilih. Hal tersebut menghalanginya untuk menggunakan hak pilihnya. Sebagai contoh misalnya seseorang memiliki kegiatan lain pada waktu yang bersamaan pada hari pemilihan, sehingga tidak bisa datang ke TPS. Pada aspek politis perilaku golput mempunyai alasan seperti tidak percaya dengan partai, calon/kandidat, atau tidak percaya akan adanya perubahan yang lebih baik. Sedangkan dari aspek identitas seseorang bisa dilihat berdasarkan agama, tingkat pendidikan, umur, jenis kelamin, dan lainya. Dari segi agama, seseorang memutuskan untuk golput karena calonnya yang diharapkan tidak terpilih sebagai calon/kandidat. Misalnya, seseorang yang beragama non muslim cenderung tidak memilih partai yang mengusung Islam, sedangkan pada calon atau parpol beraliran nasionalis dinilai kurang respresentatif untuk mewadahi aspirasi, maka golput akan menjadi pilihan akhir yang diambil. Bagi kaum golput, memilih dalam pilkada sepenuhnya adalah hak. Kewajiban mereka dalam kaitan dengan hak pilih adalah menggunakannya secara bertanggung jawab dengan menggunakan penyerahan suara kepada tujuan pemilu, tidak hanya saja membatasi pada penyerahan suara kepada salah satu kontestan pilkada. Maka dari itu, kaum golput adalah mereka yang dengan sengaja dan dengan suatu maksud dan tujuan yang jelas menolak memberikan suara dalam pemilu. Dengan demikian, orang-orang yang berhalangan hadir di Tempat Pemungutan Suara (TPS) hanya karena alasan teknis, seperti tidak terdaftar, tidak termasuk dari kategori golput.
Penilaian untuk keberhasilan pemilu, dapat menggunakan ukuran secara normatif yakni pemilu berjalan lancar, dan output atau luaran yang dihasilkan sesuai dengan harapan rakyat. Masalah pendaftaran pemilu adalah suatu masalah yang cukup besar. Di sisi lain, output pemilu perlu mengusung figur-figur baru agar pemilu tersebut dapat berkualitas. Salah satu keberhasilan dalam pemilu dapat dilihat dari tingkat partisipasi pemilihnya, selain parameter-parameter lainnya seperti kemampuan mengelola konflik dan terpilihnya individu yang kredibel. Pemilihan umum jangan hanya dilihat sebagai sebuah aktifitas administratif belaka, namun lebih menekankan pada makna substansinya. Pada konteks ini, KPU harus bisa mendesain pemilihan sedemikian rupa guna untuk dapat dijadikan sebuah pesta rakyat yang menghibur (electiontainment). Produk sosialisasi dan pendidikan pemilih harus dikemas dalam bentuk yang menghibur, ringan, dan lebih dekat dengan kultur masyarakat. Model sosialisasi seperti ini akan melibatkan industri hiburan massal seperti olah raga, budaya, maupun musik.
Pemilihan yang sedemikian rupa tersebut guna untuk dapat menjadikan sebuah pesta rakyat yang menghibur (electiontainment) sesuai dengan teori agenda setting. Dalam agenda media terdapat tiga dimensi, yaitu (1) visibilitas, (2) audiens, dan (3) valensi. Dengan menyusun program sosialisasi yang ringan dan menyenangkan, media memenuhi tiga dimensi agenda media ini. Pertama, tingkat menonjol berita terkait pemilu ini pasti menempati prioritas tinggi. Kedua, berita ataupun sosialisasi pemilu akan menonjol bagi khalayak, dibantu dengan sosialisasi off air yang dilakukan panitia pemilu. Ketiga, cara sosialisasi yang menyenangkan akan diingat dan diteruskan oleh masyarakat. Jika agenda media sudah dilaksanakan dengan tepat, akan terbentuk agenda publik, bahwa masyarakat akan merasa akrab karena program sosialisasi menggunakan kultur lokal dan hiburan massal, adanya penonjolan pribadi, yaitu relevansi kepentingan individu dengan adanya ciri pribadi yang dapat diperoleh dari program sosialisasi yang menggunakan kultur lokal, dan senang yaitu timbulnya ketertarikan dan kepedulian mengenai pemilu, sehingga masyarakat dengan sadar akan memilih dan menekan angka golput.
Trenggalek, 20 Agustus 2020
Mantab Kang Sai
ReplyDelete