OTENTIK
Era milenial sekarang ini manusia lebih banyak ketergantungan sama yang namanya smartphone. Bagi mereka smartphon adalah barang berharga, karena itu mereka lebih sayang smartphone dari pada sayang dengan yang namanya nyawa. Banyak contoh diluarsana yang sayang smartphone dari pada nyawanya. Saat musim liburan sekolah tiba siti mengisi liburan dengan mengambil momen yang pernah siti datangi yang kemudian diabadikan dalam sebuah smartphone.
Saking asyiknya siti mengabaikan faktor keamanan demi mendapatkan foto yang bagus. Disuatu tempat siti sedang asyik mencari momen bersama teman-temanya untuk berselfiria, mereka selfi di gedung tinggi yang menjulang dan demi mengekspresikan sebuah gaya tanpa memperhatikan faktor keamanan. Dimana hal yang tak diinginkan terjadi yaitu: kecelakaan yang menghilangkannyawa dari kejadian selfi tersebut.
Contoh diatas tak ubah halnya juga dengan kegiatan kaum intelektual (mahasiswa). Era digitalisasi sekarang ini, banyak kaum intelektual yang lebih akrab dengan namanya smartphone dibandingkan segudang buku yang bertumpuk di tas, perpustakaan atau tempat lainnya. Generasi penerus intelektual ini lebih resah pulsa paket internet habis daripada membeli buku.
Mereka rela berhutang kesana kemari demi membeli pulsa daripada berhutang demi sebuah buku. “Berhutang buku dahulu adalah sebuah kehormatan. Banyak yang berhutang demi buku, termasuk Bung Hatta”, sergah Fildzah Syafarina. Namun realita yang ada dilapangan sudah berganti dari zaman old ke zaman now seperti ini.
Dunia smartphone yang terhubung dengan Internet, telah menjamah otak para pelaku kaum intelaktual, mereka diracuni otaknya dengan yang namanya google. Karena google sendiri menyediyakan bahan pembelajaran mualai dari yang positi sampai yang negatif. Sehingga kaum intelaktual memutar otaknya untuk berfikir, buat apa datang keperpustaakaan yang berjubel, sudah udara pengap bukunya kung lengkap. Itulah yang sering di keluhkan kaum intelektual. Sampai akhirnya mereka mengambil jalan tengah dalam menyikapi masalah yang ada. Namun disisi lain mereka mendustakan akan sebuah keotentikan dari keilmuan yang ada diperpustakaan.
Andaisaja mereka tau persis bagaimana sejarah kemuliyaan keilmuan buku-buku yang ada diperpustakaan, mereka akan lebih menghargai. Namun sayang era digitalisasi telah maju dengang cepat. Samapai sekarang peradaban buku-buku yang otentik keaslianya mereka dustakan. Banyak dari mereka berangapan, kenapa beli buku mahal-mahal toh di google ada, udah harganya mahal, hanya dipakek saat satu semester berjalan. Mending buat beli kuota internet yang bisa menjangkau ribuan informasi yang ada didunia ini. Kita bolehlah memanfaatkan terkonogi dengan dalil positif, namun janganlah meningalkan perpustakaan. Perpustakaan adalah bukti sejarah yang nyata nan bisa dinikmatati dengan ombak samudra yang selalu silih berganti dan serta bisa di pertanggung jawabkan. Perbanyaklah berkunjung keperpustakaan. Karena perpustakaan adalah gudangnya ilmu.
Betul sekali pak Saifudin...perpustakaan sepi...namun medsos ramai akan ujaran kebencian..
ReplyDeleteSungguh ironis