PEROBLEM HAK ULAYAT
Sore yang berbalut awan hitam yang merundung mengiringi langkah sebuah kegiatan diskusi yang menarik, dimana dalam kajian salam muslimah reformis menyuguhkan tema tentang Masyarakat Adat : Kapankah negara hadir ?. Kegiatan tersebut di isi oleh pemateri yang mumpuni yaitu ; Prof. Dr. Musdah Mulia, MA. Penulis buku ensiklopedi muslimah reformis, Ridhian Yasminta Warasaka, S.Kom., M.Si penulis buku perempuan perkasa : belajar praktek kesetaraan dalam budaya suku korowai papua, Dr. La Ode Taufik Nuryadin, direktur pemberdayaan masyarakat adat terpencil kementrian sosial RI, Dr. Khuthi Tridewiyanti, SH, MA, pengaje dan ketua pusat kajian hukum adat fakultas hukum universitas pancasila. Acara tersebut dimulai mulai pukul 13:00 – 15: 00 WIB. Banyak sekali pembahasan yang di uaraikan muali dari tanah adat, pendidikan, hukum dan seterusnya. Namun penulis tak bisa menyerap penjabaran pemeteri secara penuh, karena penulis mempunyai keterbatasan dalam hal menelaah semua materi. Akan tetepi penulis akan mencoba sedikit menjelaskan tentang tanah ulayat.
Tanah memiliki peranan vital guna mendukung kehidupan manusia dalam penyelenggaraan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, tentunya memiliki keanekaragamannya masing-masing baik dari segi budaya, adat istiadat dan kekayaan alamnya. Di Indonesia terkait penyelenggaraan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat dan pemanfaatan tanah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Peraturan ini berisi aturan tanah masyarakat adat atau biasa dikenal sebagai tanah ulayat. Tanah ulayat didefinisikan sebagai tanah Bersama para warga masyarakat hukum adat. Hak penguasaan atas tanah masyarakat adat dikenal dengan Hak Ulayat. Pengakuan hak ulayat juga terdapat pada Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Lalu, hak menguasai dari negara tersebut pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekadar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah. Demikian yang disebut dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”). Selain itu, dalam Pasal 3 UUPA memang terdapat istilah “hak ulayat dan hak-hak yang serupa dengan itu”. Dalam Penjelasan Pasal 3 UUPA dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan "hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu" adalah apa yang di dalam perpustakaan hukum adat disebut "beschikkingsrecht". Bunyi selengkapnya Pasal 3 UUPA adalah sebagai berikut ; Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Penjelasan akan tanah ulayat oleh pemateri sebagai mana yang penulis uraikan. Ketika penjelasan sudah dijabarkan oleh pemeteri maka tibalah sesi diskusi yang di situ ada pertanyaan yang membutuhkan jawaban. Dari sekian audian firtual ada yang bertanya, ada salah satu penanya yang menanyakan tentang, bagaimana proses pengajuan sertifikasi untuk tanah adat dan apakah hal tersebut dimungkinkan secara hukum mengikat tanah tersebut merupakan hak turun temurun hanya berdasarkan ketentaun adat yang tentunya tidak tertulis apa lagi ditandatangani diatas materai dan dengan batas-batas wilayah yang diketahui oleh sesama masyarakat adat diwilayah tersebut. Pada Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat (“Permen ATR/BPN 18/2019”), diuraikan lebih lanjut mengenai ‘hak ulayat kesatuan masyarakat hukum adat atau yang serupa itu’. Hak ulayat kesatuan masyarakat hukum adat atau yang serupa itu adalah hak kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat komunal untuk menguasai, mengelola dan/atau memanfaatkan, serta melestarikan wilayah adatnya sesuai dengan tata nilai dan hukum adat yang berlaku.
Munculnya sengketa-sengketa terkait status kepemilikan tanah adat akan mempersulit perencanaan yang dikemudian hari, bahkan akan menghambat pembangunan yang akan dilakukan di daerah tertentu. Dari permasalahan yang ada dapat dilihat bahwa kepastian terkait tanah adat di Indonesia saat ini masih belum begitu jelas statusnya. Ketidaksesuaian batas wilayah antara batas lahan versi pemerintah dan masyarakat adat semakin menimbulkan konflik-konflik lainnya baik secara vertikal antara masyarakat adat dengan pihak perusahaan asing bahkan konflik secara horizontal antara masyarakat adat. Sudah seharusnya hukum agraria tentang tanah ulayat ini semestinya perlu diperbaharui dan diperjelas sesuai dengan realita di lapangan demi mencapai keadilan bagi seluruh masyarakat khususnya masyarakat adat. Tanah Ulayat adalah tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Hak penguasaan atas tanah masyarakat hukum adat dikenal dengan Hak Ulayat.
Hak ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya. UU No. 5 Tahun 1960 atau UU Pokok Agraria (UUPA) mengakui adanya Hak Ulayat. Pengakuan itu disertai dengan 2 (dua) syarat yaitu mengenai eksistensinya dan mengenai pelaksanaannya. Berdasarkan pasal 3 UUPA, hak ulayat diakui “sepanjang menurut kenyataannya masih ada”. Dengan demikian, tanah ulayat tidak dapat dialihkan menjadi tanah hak milik atau di setifikasikan apabila tanah ulayat tesebut menurut kenyataan masih ada, misalnya dibuktikan dengan adanya masyarakat hukum adat bersangkutan atau kepala adat bersangkutan. Sebaliknya, tanah ulayat dapat dialihkan menjadi tanah hak milik apabila tanah ulayat tersebut menurut kenyataannya tidak ada atau statusnya sudah berubah menjadi “bekas tanah ulayat”. Status tanah ulayat dapat dijadikan sebagai hak milik perorangan apabila status tanah ulayat tersebut sudah menjadi “tanah negara”.
Tanah bekas ulayat adalah tanah yang tidak dihaki lagi oleh masyarakat hukum adat, untuk itu berdasarkan UUPA tanah tersebut secara otomatis dikuasai langsung oleh negara. Dalam praktik administrasi digunakan sebutan tanah negara. Tanah negara itulah yang dapat dialihkan menjadi hak milik perseorangan. Tanah Ulayat dapat diubah statusnya menjadi hak milik perseorangan apabila tanah tersebut sudah menjadi tanah negara seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Tata cara peralihan hak atas tanah negara menjadi hak milik diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 1999 (Permenag/KBPN No. 9/1999). Menurut pasal 9 ayat (1) jo. pasal 11 Permenag/KBPN No. 9/1999, Permohonan Hak Milik atas tanah negara diajukan secara tertulis kepada Menteri melalui Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan. Permohonan tersebut memuat (pasal 9 ayat (2) Permenag/KBPN No. 9 Tahun 1999). Tujuan ditetapkannya hukum pemerintah ini untuk menghindari konflik-konflik adat yang terjadi baik secara kelompok maupun secara perseorangan antar adat maupun sesama masyarakat adat itu sendiri. Terkait deliniasi wilayah adat, pemerintah di wilayah adat terkait perlu melakukan pendataan yang jelas dengan melakukan dialog antar masyarakat adat hingga mencapai kesepatakan yang jelas untuk menghindari sengketa tanah adat.
Tulungagung, 03 Oktober 2020
Comments
Post a Comment